“Hai, Cindy .....”
Aku terperanjat. Suara itu? Jujur, aku sangat mengenal suara tadi. Itu suara Devi, sahabatku. Kami sering bermain bersama setelah pulang sekolah. Tapi .... bukankah Devi ke luar kota? Bagaimana mungkin dia menemuiku di sini?
Aku yang tengah duduk di bawah pohon, tepat di belakang rumah, memusatkan perhatian kepada Devi yang ada di belakangku.
“Dev, kamu kok ....”
Devi mengangkat jari telunjuk. Tandanya, dia tidak mau aku melanjutkan ucapan.
Sejenak, aku mengamatinya dari atas sampai bawah. Kulihat rambutnya masih sama. Lurus dan panjangnya sepunggung. Dia mengenakan baju berwarna putih yang dihiasi bunga-bunga kecil. Rok di bawah lutut juga menjadi pemandangan menarik. Devi memang sederhana, meski dia kaya raya, tetapi pakaiannya tidak ada bedanya dengan pakaianku, yang notabene-nya dibeli dengan harga murah.
Devi berbalik. Kini, dia melangkah dengan gerakkan tergesa-gesa. Tentu saja aku tidak bisa diam begitu saja. Aku tidak mungkin membiarkannya jalan sendirian. Bagiku, mengikuti Devi adalah suatu keharusan. Barangkali, ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan? Tidak ada yang tahu, bukan?
Ternyata, Devi melangkah ke arah rumahnya. Kami memang ada di satu perkampungan yang sama. Dari SD, kami berteman. Tentu saja, aku juga sudah biasa main ke rumahnya yang megah. Rumah termegah di kampung kami.
“Dev, tunggu!” tegasku.
Devi tidak bersuara. Saat mendapati suara itu, langkahnya malah semakin cepat. Tidak biasanya Devi seperti itu. Dia itu terkenal anggun dan pendiam. Namun saat ini, seperti ada banyak hal yang memang dia pikirkan.
Kami berdua sampai di depan rumah. Alih-alih diajak masuk, aku malah diajak ke belakang rumahnya. Ah, kebetulan, aku sebenarnya belum pernah secara langsung menginjakkan kaki di belakang rumah. Selama aku hidup dan main ke rumah Devi, dia tidak pernah mengajakku ke taman belakang.
Entah kenapa, aura taman belakang itu begitu menyeramkan. Padahal ini baru sore hari.
“Dev, sebenarnya apa yang kamu mau?”
Devi tidak menjawab.
Kamu tahu? Di belakang rumah Devi rupanya ada bangunan kecil, lebih mirip seperti saung-saung di kebun. Bedanya, bangunan itu dibentuk dengan begitu rapi dan permanen. Tentu saja aku terkejut dan ingin sekali masuk.
Devi membuka pintu. Saat itu juga, aku menutup mulut. Kulihat tengkorak berserakkan. Bukan hanya itu, aku melihat bayangan-bayangan putih saling berterbangan. Padahal ini sore hari. Bukan malam hari. Aura di sini kuat sekali. Bahkan membuatku lemas. Benar-benar lemas.
Devi yang sudah masuk duluan juga mendadak berubah. Dia bukan lagi Devi yang manis. Kali ini, aku melihat tatapan mata tajam. Dan .....
“Tolong!” desahnya.
Berbarengan dengan itu, aku melihat air matanya mengalir. Tapi .... itu bukan air mata. Itu darah. Darah itu mengucur dari dalam kulit yang sobek. Aku ngeri sendiri melihat darah tersebut membasahi pipi hingga ke baju.
“Dev, kamu kenapa? Kamu .....”
Perlahan-lahan, tubuh Devi juga menjadi aneh. Badannya bungkuk. Bajunya sobek-sobek. Seperti ada akar-akar hidup yang menyembul keluar hingga merusak jaringan tubuhnya.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Devi? Apa yang .....
Badanku bergetar sekarang. Aku mengusap dahi yang terasa begitu panas. Lantas, mataku terbuka. Dan, untuk kedua kalinya, aku memimpikan Devi. Ya, ternyata barusan itu hanya mimpi.
Aku bangun dari tempat tidur. Saat kulihat jam di dinding, ternyata baru jam empat subuh. Huh, capek sekali. Aku seperti benar-benar bertemu dengan Devi.
Aku melihat ponsel. Sepertinya aku harus menelepon Rico. Dia harus tahu dengan informasi ini.
“Ric!” Aku langsung bersuara saat telepon itu diangkat. “Gue mimpi lagi soal Devi!” tegasku.
“Mimpi apa?” tanyanya.
“Sekarang lebih seram dari yang kemarin!” tegasku. “Jika malam lalu Devi menangis, maka malam ini tangisannya berubah menjadi darah.”
“Serius lo?”
“Serius!” Aku bangun dari tempat tidur. Sekarang, aku mondar-mandir di depan jendela kamar. “Kayaknya ada yang aneh deh, Ric. Devi tiba-tiba pindah ke luar kota tanpa informasi. Bahkan guru-guru pun hanya mendapatkan informasi dari kedua orangtua Devi. Saat proses pindah dari sekolah, Devi tidak ikut dibawa ke sekolah. Katanya, dia sudah pindah duluan karena ada beberapa hal.”
“Aneh sih emang.” Rico menyambung lagi. “Terus kita mau ngapain sekarang?”
“Nanti kita ngobrol di sekolah ya. Kita obrolin bareng-bareng soal ini.”
“Siap. Gue tunggu informasi dari lo ya.”
Aku mengangguk, lantas menutup telepon.
Ya ampun, aku tidak habis pikir Devi mendatangiku lewat mimpi. Aku sebagai orang yang cukup sensitif dengan hal-hal berbau ghaib malah curiga. Jangan-jangan Devi .... Ah! itu siapa?
Aku yang sedang memikirkan Devi teralihkan ke depan jendela. Jendela kamarku memang menghadap ke jalanan perkampungan. Di jalan sana terlihat gelap, tetapi aku melihat sesosok putih berdiri di pinggir jalan, menghadap ke kamarku.
Aku tidak bisa melihat wajahnya, sebab dia menunduk. Yang kutahu, dia mengacungkan jarinya ke arahku. Dia seperti ingin mengajakku bicara. Tapi aku cukup lemah. Berkomunikasi dengan makhluk seperti itu bisa membuatku kehabisan tenaga.
Aku memilih menutup jendela dengan tirai. Aku tidak mau melihat hal aneh-aneh. Energiku harus digunakan untuk mencari tahu soal Devi. Bukan untuk melawan hal tidak penting seperti mengobrol dengan Miss Kunkun tadi.
***
Aku menunggu Rico di taman belakang sekolah sejak sepuluh menit lalu. Hingga kemudian, aku mendapati Rico ada di depanku dengan napas ngos-ngosan.
“Sorry telat. Tadi lumayan lama di pelajaran terakhir.” Dia berucap sambil duduk di sisiku.
“Nggak apa-apa. Gue baru kok di sini. Nggak nunggu terlalu lama.”
“Ada apa dengan Devi, Cin?” tanyanya kepadaku.
Cin adalah sebutan untuk nama gue, Cindy Aprilia.
Aku mengembuskan napas. “Sudah gue bilang, ada yang aneh.”
“Tapi itu kan cuma mimpi.” Rico masih berusaha membantah.
“Mimpinya dua kali!” tegasku. “Gue nggak pernah meleset soal mimpi. Ingat kan saat ada kasus Mira? Gue didatengin dia dua kali. Sampai akhirnya gue tahu kalau dia .... mati tertabrak. Dan jasadnya ada di kebun. Si pengendara membuang jasad itu karena takut disalahkan.”
“Jadi maksud lo ....” Roco memicingkan mata. “Sebenarnya Devi meninggal? Devi bukan pindah ke luar kota?”
Aku mengangguk pelan.
“Nggak masuk akal!” tegas Rico lagi. “Orangtuanya sendiri lho yang datang ke sekolah.”
“Gue curiga kalau orangtuanya juga ada di balik ini semua, Ric.”
“Hah?” Rico melotot. “Nggak mungkin.”
“Mungkin-mungkin saja. Kita nggak tahu yang sebenarnya terjadi!”
“Kita pernah main ke rumah Devi kan? Wih, orangtuanya baik banget. Kita disambut seperti tamu kehormatan. Makanan juga disediakan begitu banyak. Gue nggak tega kalau harus menuduh hal buruk sama orangtuanya!”
Aku tertawa. “Manusia itu selalu punya topeng, Rico. Kita nggak tahu apa yang ada di hati mereka. Yang jelas, gue curiga kalau Devi memang nggak pernah pindah ke luar kota. Tapi Devi .... mati!”
Ucapanku itu membuat bulu romaku meremang. Aku tidak habis pikir kalau Devi memang telah meninggal.
“Satu lagi!” Aku menghela napas. “Saat gue pantau rumah Devi, kedua orangtuanya masih ada di sana lho. Gue kira mereka ikut pindah. Tapi enggak. Tante Mirna dan Om Surya masih bolak-balik pakek kendaraan mewah milik mereka.”
“Terus, gimana sekarang? Apa lo punya rencana?” tanya Rico.
“Kita harus cari tahu malam ini juga!” tegasku. “Gue nggak mau dihantui terus-terusan sama Devi, Ric. Dia sepertinya terdesak dan butuh pertolongan!”
Rico mengangguk. Meski aku melihat raut ragu dari wajahnya, aku tetap salut terhadap Rico. Aku, Rico, dan Devi adalah tiga manusia yang sering bersama. Mungkin dia juga ingin memberikanku kesempatan untuk membuktikan insting itu. Dia tahu betul kalau aku bisa merasakan hal-hal sensitif soal hantu.
***
Aku sudah menyusun rencana bersama dengan Rico. Nah saat ini, kami sudah ada di depan rumah megah milik orangtua Devi. Tentu saja, kami tidak bisa langsung masuk ke halaman rumah. Gerbang tertutup rapat dan ada satpam yang menjaga.
“Malam, Pak,” ucapku ramah.
“Eh, ini Neng Cindy ya?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Saya sama Rico.”
Rico mengangguk ke satpam berbadan gembul itu.
“Ada apa malam-malam ke sini? Non Devi kan sudah tidak ada di sini?” Dia bertanya keheranan.
“Saya mau mengembalikan barang miliknya, Pak,” jawabku sambil mengacungkan buku.
“Kalau begitu, titip di Bapak aja. Nanti Bapak kasih ke Tuan dan Nyonya.”
Rico langsung maju. “Wah, maaf Pak, bukan kami nggak percaya sama Bapak. Kami harus memberikan barang ini langsung ke orangtuanya Devi. Ada hal yang harus kami sampaikan juga. Dan ini penting.”
“Oh gitu ....” Pak Satpam mengangguk-angguk. “Sebentar kalau gitu, saya telepon dulu ya.”
Aku mengangguk pelan.
Jujur, aku takut jika rencana ini tidak bisa berjalan dengan baik. Masalahnya, aku juga mendengar obrolan Pak Satpam dengan ... entah siapa itu, mungkin Bapak atau Mamanya Devi, yang cukup lama. Sampai kemudian, telepon itu berakhir setelah sekitar 10 menit.
“Katanya boleh masuk, tapi sebentar saja.” Pak Satpam membuka gerbang.
Ah, syukurlah. Itu membuat aku dan Rico tenang.
Rencanaku dengan Rico cukup berisiko. Tapi aku yakin, Rico bisa meng-handle semuanya.
“Ingat, ajak mereka mengobrol selama mungkin sebelum aku kembali dari belakang!” tegasku.
“Siap, Bu Komandan!” Rico mengangguk pasti.
Kami berdua melangkah ke arah berbeda. Tentu saja aku melihat keadaan dan kondisi dulu. Sebisa mungkin, satpam di depan juga tidak melihat gerak-gerik kami.
Sekarang, aku melangkah ke arah belakang rumah Devi dengan pikiran agak was-was. Ya, aku berharap Rico bisa mengalihkan perhatian kedua orangtua Devi sehingga tidak mencegah niatku dalam mencari tahu.
Saat aku ke belakang rumah, suasananya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Sepertinya keluarga mereka sengaja melakukan ini supaya tidak ada yang berani datang ke sini. Tapi bukan Cindy kalau tidak ada ide. Aku jelas membawa senter dari rumah.
“Mau ke mana?”
Ucapan itu membuat kakiku tertahan.
Aku melihat sosok wanita tua dengan rambut putih, berdiri di hadapanku. Tangannya memegang tongkat dan ditopangkan di atas tanah. Saat kusoroti, wanita itu tersenyum dengan wajah menyeringai.
“Nenek siapa?” tanyaku pelan.
“Saya penjaga tempat ini!” tegasnya.
Penjaga! Tidak mungkin ada manusia di kebun belakang malam-malam begini. Nenek-nenek pula. Dari auranya, dia terlihat kuat. Biasanya aku melihat makhluk astral itu hanya sekelebatan. Berarti, energi dari nenek ini lebih besar dari makhluk-makhluk yang pernah kutemui sebelumnya.
“Pergi!” tegasku. “Saya tidak ada urusan dengan Nenek!”
Nenek itu malah tertawa, kemudian dia melangkah, seolah ingin memegang tanganku. Terbukti, dia mengacungkan tangan kriputnya.
Ketika aku sedang dalam bahaya seperti ini, biasanya suhu tubuhku akan memanas. Nah, saat ini, aku merasakan hal tersebut. Mendadak, keringatku keluar cukup banyak. Tentu saja, badanku juga bergetar.
Namun, aku selalu ingat jika manusia adalah makhluk kuat dari pada makhluk lain. Saat makhluk itu mendekat, aku menghilangkan rasa takut itu, juga berusaha membaca ayat-ayat suci yang aku pelajari. Aku berusaha untuk tetap tenang, sebab makhluk seperti itu akan semena-mena jika manusia sepertiku takut kepadanya.
“Saya tidak takut!” tegasku pada akhirnya.
Ucapan itu membuat badannya terpental jauh. Entahlah, ucapanku seperti terdorong juga oleh doa-doa yang kubacakan.
Tenang, Cindy! Sebentar lagi, kamu akan masuk ke bangunan itu.
Ya, bangunan cilik yang kulihat di dalam mimpi memang tujuanku. Kamu masih ingat? Devi mengajakku masuk ke ruangan itu. Sepertinya, dia memanng ingin menunjukkan sesuatu di sana. Menariknya, bangunan itu memang benar ada. Padahal, aku belum pernah datang ke bangunan itu sebelumnya.
Saat mau melangkah, ada dua anak kecil yang menarik bajuku secara tiba-tiba.
“Jangan ke sana, Kak! Jangan ke sana!”
Aku mengernyitkan kening. “Kenapa?”
“Takut! Takut!”
Aku menggeleng. Kedua bocah ini sepertinya memang baik karena mengingatkanku. Namun, aku harus tetap melangkah. Aku harus melihat kebenaran tentang ruangan itu. Ada apa sebenarnya di dalam sana?
Aku menghela napas sebelum melangkah lagi. Sementara dua bocil yang mengenakan baju lusuh tadi aku suruh pergi dengan menggunakan jampi-jampi.
Saat ini, aku sudah ada di depan bangunan itu. Tidak dikunci! Oh, aku bisa masuk ke bangunan itu dengan begitu gampang.
Bangunan itu memang tidak dikunci. Namun, justru dijaga oleh berbagai makhluk. Sebelum aku benar-benar membuka lebar pintunya, muncul makhluk berbadan besar yang menghalangiku. Tawanya memekakan telinga. Kemudian, aku mencium bau yang aneh. Seperti bau bangkai yang bercampur dengan kotoran manusia. Ya ampun, makhluk besar ini sepertinya memang tidak pernah mandi!
Berbeda dengan nenek-nenek tadi, makhluk ini langsung melakukan perlawanan. Dia mendorongku dengan begitu cepat. Kamu tahu? Aku terpental! Badanku benar-benar sakit karena dorongan itu. Ini pertama kalinya aku mendapati makhluk astral sekuat ini. Tidak main-main, bangunan ini sepertinya dijaga super ketat.
Aku kembali berkonsentrasi. Aku mengumpulkan tenaga dalam dan berusaha untuk kembali tenang. Kunci dalam melawan makhluk seperti ini adalah tenang. Aku harus menanamkan bahwa Tuhan ada di sisiku. Dialah yang Mahabesar. Tidak ada yang bisa mengalahkan Tuhanku.
Saat tekad dan keyakinan itu terus diterapkan, aku mendengar teriakkan dari makhluk itu. Sepertinya, dia merasa kepanasan dengan asma Allah yang kuucapkan. Ah, luar biasa! Kuasa Tuhan memang tiada duanya.
Aku menyeka peluh. Semuanya berpacu dengan waktu.
Akhirnya, aku masuk ke dalam ruangan itu, hingga menutup mulut saat mendapati suatu fakta.
Aku melihat orang yang kukenal terbaring kaku dengan mata terpejam. Dia berada di tengah-tengah ruangan. Kamu tahu? Tubuhnya dikelilingi lilin dan bunga-bunga aneka warna. Aku melihat jika Devi seperti ada dalam suatu ritual.
Saat aku mau berjongkok, tiba-tiba ada suara dari belakang.
“Mau apa?”
Aku menengok. Ternyata .... Bapaknya Devi.
“Om, aku .....”
“Lancang!” teriaknya.
Aku melihat wajahnya murka. Sepertinya dia ingin segera menyeretku dan ... menyakitiku. Namun sebelum benar-benar masuk ke ruangan ini, tiba-tiba ada beberapa suara menggema.
“Angkat tangan!”
Huh! Akhirnya .....
Sebelum ke rumah ini, aku memang menelepon polisi. Aku bercerita tentang semua kejanggalan terhadap teman kami yang menghilang. Meski Rico gagal mencegah orangtua Devi, tetapi aku bisa bernapas lega. Polisi telah datang di situasi yang tepat.
Aku melihat Om Surya menahan emosi. Dia yang sedang angkat tangan, akhirnya diringkus. Sementara, beberapa polisi masuk dan melihat situasi di ruangan kecil ini. Ah, Devi, akhirnya aku bisa memenuhi permintaanmu. Aku bisa melihat keberadaanmu meski sudah dalam keadaan .... tidak bernyawa.
***
Kampung kami dihebohkan dengan ditangkapnya suami istri yang tak lain adalah orangtua Devi. Di awal-awal, aku tidak tahu motif mereka melakukan pembunuhan. Namun pada akhirnya, ada klarifikasi langsung dari kepolisian setempat.
“Setelah melakukan berbagai penyelidikan, akhirnya kami tahu motif dari pembunuhan. Mereka membunuh anaknya sendiri karena terpaksa. Menurut informasi dari yang bersangkutan, sudah lama dia mengambil nyama orang-orang untuk tumbal. Pada akhirnya, ada satu darah dagingnya yang harus dikorbankan.”
Aku dan Rico saling bertatapan. Kami sama sekali tidak habis pikir dengan semua itu.
“Pantas saja setiap tahun selalu ada yang meninggal secara tidak wajar!” ucapku. “Ada beberapa yang bahkan menghilang begitu saja tanpa jasad yang diketemukan.”
“Untungnya, dengan baik hati Devi datang ke mimpi-mimpi lo.” Rico mengangguk.
“Ya, sepertinya dia sendiri sudah bosan melihat orangtuanya bersekutu dengan setan.” Aku mengembuskan napas. “Meski tidak semua orang percaya dengan berita ini, tapi aku yakin, makhluk-makhluk ghaib, kemudian persekutuan dengan setan itu, memang ada. Dan itu terjadi di keluarga sahabat kita sendiri.”
Rico mengangguk-angguk. “Semoga kamu tenang di sana ya, Dev.”
“Kami akan selalu mendoakanmu, Dev,” pungkasku pada akhirnya.
Aku dan Rico terus mendengarkan informasi terkini soal keluarga Devi. Tentu saja, meski kami tenang karena Devi sudah ditemukan, ada hal yang membuatku sedih. Aku tidak akan bisa mengobrol lagi dengan Devi. Dia sudah berada di alam berbeda.
***
tes
ReplyDeletesemoga cerita yang kami post dapat menghibur anda kawan.
Delete