Gunung Pucang






“Gunadi hilang!”

Itu ucapan Ibu yang langsung membuatku bengong seketika.

“Maksudnya?” Aku yang baru datang, mendadak beku. “Jadi, Ibu menyuruhku pulang karena Gunadi hilang?”

Ibu mengangguk. “Ibu tidak bisa memberikan informasi ini saat kamu masih di Jakarta. Takut kepikiran. Dan sekarang, kamu sudah ada di sini ....”

Aku masih tidak percaya dengan informasi dari Ibu. Gunadi adalah anakku. Umurnya 6 tahun. Aku yang bekerja di Jakarta menitipkan Gunadi kepada Ibu. Tentu saja istriku sudah tidak ada di dunia ini. Dia meninggal saat Gunadi berumur 2 tahun karena penyakit jantung.

Aku yang sedang berdiri memilih duduk di kursi. Lemas luar biasa. Baru saja aku sampai. Baru saja aku akan memberikan hadiah untuk anak kesayanganku yang berupa buku-buku cerita, eh, dia malah hilang. Dia memang cerdas. Di usia 6 tahun, Gunadi sudah bisa membaca buku-buku tema berat. Entahlah, ayahnya sendiri tidak sepintar dan serajin itu dalam membaca buku. Nah dia? Luar biasa. Mungkin menurun dari mendiang ibunya.

Ibu ikut duduk di sisiku dengan wajah cemas. “Maafkan, Ibu. Ibu tidak tahu kalau kejadiannya bisa begini.”

Aku mengambil air di atas meja, lantas menyeruputnya. “Apa yang menyebabkan dia hilang, Bu?”

Ibu terdiam sejenak. Sepertinya Ibu sedang mengingat-ingat berbagai kemungkinan mengenai alasan menghilangnya Gunadi. 

“Seminggu yang lalu, dia pernah bertanya mengenai satu hal.” Ibu memandangku ragu. “Dia bertanya, apakah dia bisa bertemu dengan Ibunya?”

“Terus Ibu jawab apa?” tanyaku.

“Ya, Ibu bilang, Gunadi bisa bertemu Ibu suatu hari nanti. Jika sudah ada di alam yang sama.”

Aku mengangguk-angguk.

“Kemudian Gunadi bilang jika dirinya ingin bertemu Ibu saat itu juga.” Ibu menjelaskan dengan nada bergetar.

“Terus setelah itu?” tanyaku pelan.

“Ibu tidak bisa menjawab lagi. Ibu hanya menyuruhnya untuk segera tidur. Besoknya kan sekolah.” Ibu menjelaskan sambil menunduk.

Aku menghela napas panjang. Sikapku ke Ibu sepertinya telah salah. Aku terlalu menggebu, seolah menyalahkan Ibu. Padahal, Ibu tidak tahu apa-apa. Membebankan Gunadi kepada Ibu saja sudah merupakan salahku. Tidak sepantasnya aku menekan seolah-olah semua ini kelalaian Ibu.

Aku menggeserkan pinggul ke arah Ibu. Lantas aku memeluknya begitu erat. “Bukan salah Ibu. Ini salah Badar sendiri.”

“Ini salah Ibu. Ibu lalai menjaga cucu Ibu!” tegasnya. Sekarang, tangisannya pecah.

Ibu terus menceritakan perubahan-perubahan Gunadi. Dia tidak mau keluar kamar beberapa hari terakhir. Seperti ada proyek besar di kamarnya. Jika biasanya pintu kamar selalu dibuka, maka beberapa hari itu pintu kamar Gunadi tertutup rapat. Hingga kemudian, kemarin dia benar-benar hilang. Gunadi diketahui hilang saat Ibu membangunkannya untuk sekolah.

“Ibu nggak mau kehilangan Gunadi. Sudah cukup Ibu kehilangan Bapak dan juga menantu Ibu. Ibu nggak mau!”

“Iya, Bu. Ibu tenang saja. Kita akan menemukannya.”

Sebagai orang yang tidak punya, Ibu tidak bisa melapor ke polisi soal kehilangan ini. Kemarin, dia dibantu warga kampung untuk mencari Gunadi di sekitar pedesaan, tetapi nihil, tidak ada satu pun jejak-jejak Gunadi.

Setelah Ibu tenang, aku memilih berdiri. Sepertinya aku harus mengecek kamar Gunadi. Siapa tahu ada petunjuk?

Saat aku masuk, seperti biasa, kamar anak yang baru masuk sekolah dasar beberapa bulan lalu itu dipenuhi buku yang berserakan. Tentu saja, terdapat banyak buku dengan berbagai variasi, terutama fiksi dan dongeng. Aku memang sengaja membelikan buku-buku fiksi. Aku tidak mau membebankan Gunadi untuk belajar banyak hal di usia dini. Meskipun sebenarnya, kadang-kadang Gunadi meminta buku-buku pengetahuan. Dan mau tidak mau, aku tetap membelikannya.

Kamar Gunadi seperti kamar anak SMA. Terlalu banyak buku yang sudah lecek. Aku juga mendapati peta-peta dunia yang dia tempel di dinding kamar. Ah, ini merupakan anugerah. Anak seusia dia bisa secerdas itu mempelajari banyak hal.

Di antara beberapa buku yang berserakan, aku tertarik untuk mengambil satu buku yang terbuka lebar. Iya, sepertinya itu buku terakhir yang Gunadi baca. 

Cerita di Gunung Pucang

Itu judul dari dongeng yang kupegang. Dan saat kubuka, ada satu paragraf cerita yang langsung membuatku terpaku. 

Di gunung pucang ada air terjun yang bisa mengabulkan doa. Salah satunya, doa bertemu dengan orang yang sudah meninggal!

Gunung Pucang itu adalah gunung yang tidak jauh dari perkempungan ini. Jika disambungkan dengan keinginan Gunadi untuk bertemu Ibunya beberapa hari lalu, tandanya .... dia nekat pergi? Ah, aku buru-buru berlari ke luar. Aku tidak peduli. Meski baru datang dari Jakarta, aku harus segera menyusulnya ke daerah di sekitar Gunung Pucang. Jaraknya hanya 5 kilometer, tapi untuk ukuran anak kecil, jelas jarak itu jauh sekali.

“Bu, Badar tahu di mana Gunadi!” tegasku. “Aku harus pergi sekarang juga sebelum kesorean. Badar takut Gunadi kenapa-napa. Meskipun dia anak yang cerdas, tetapi dia masih kecil. Aku tidak yakin dia bisa bertahan. Apalagi, dia sudah satu hari bermalam di tempat itu.”

“Ibu ikut ....” Ibu memandang lemah.

“Nggak perlu. Badar saja yang menyusul. Badar akan menyewa motor trail milik tetangga supaya cepat.”

 “Ya sudah, hati-hati di jalan ya, Dar. Semoga Gunadi bisa ditemukan.”

Aku mengangguk.

***

Bapak selalu mengajariku banyak hal. Salah satunya mengenai kemandirian. Sejak berumur dua tahun, Bapak  selalu bilang jika aku adalah anak yang pintar. Tentu saja, karena ingin membuktikan itu semua, aku berusaha belajar banyak hal. 

Aku pernah bertanya kepada Bapak tentang cara menjadi cerdas. Bapak bilang, cerdas bisa dihasilkan dari membaca buku. Sejak saat itulah, aku selalu suka membaca buku-buku.

Kata orang-orang, aku aneh. bahkan teman-temanku di sekolah selalu bilang kalau Gunadi itu pikirannya seperti orang besar. Aku sendiri tidak tahu seperti apa pikiran orang besar. Mungkin salah satunya seperti saat ini, saat aku memutuskan untuk pergi ke kaki gunung pucang.

Aku ingin bertemu Ibu yang sudah meninggal sejak aku kecil. Gara-gara buku dongeng yang memuat beberapa cerita daerah, aku percaya bisa bertemu Ibu.

Dari rumah, aku berangkat pagi sekali sebelum Nenek bangun. Aku belajar mengendap-endap dari sinetron yang selalu Nenek tonton setiap malam. Sementara sebelum hari keberangkatan itu, aku belajar banyak tentang perbekalan ketika ingin berpergian.

Saat ini, aku menggendong tas kecil yang diberikan Nenek. Aku membawa beberapa buah jeruk yang aku beli dari uang jajan, kemudian dua botol minuman. Bagiku, air minum sangatlah penting. Tentu saja, aku tidak perlu membawa air minum terlalu banyak, toh di sana juga ada sungai jernih. menurut buku dongeng yang kubaca, gunung pucang adalah gunung yang menghasilkan air paling jernih di daerahku.

"Dek, mau ke mana?" tanya seseorang.

"Mau bertemu Ibu di gunung," jawabku.

"Kok sendirian aja. Yang lain ke mana?" tanyanya lagi.

Aku paling tidak suka ditanya seperti itu. Dari pada menjawab, aku berlari dari hadapannya. Enak saja menanyaiku seperti itu.

Perjalananku terasa semakin terjal. Terutama karena mulai banyak pohon di kanan dan kiri. Aku tidak tahu tempat aslinya di mana. Menurut informasi, Gunung Pucang itu jaraknya 5 kilometer. Mungkin bisa menghabiskan waktu 3 sampai 5 jam jalan untuk ukuran langkahku yang kecil.

"Tenang Gunadi, kamu bisa! Istirahat dulu!"

Aku memilih duduk di pinggir pohon pinus. Lantas membuka tas ransel bergambar robot. Sebenarnya aku tidak suka tas ransel bergambar robot. Kata Nenek, anak kecil selalu suka gambar begitu. Tapi aku, aku sama sekali tidak suka.

Aku mengambil jeruk. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk melahap makanan itu. Dan ... ah, segar sekali. Begini rasanya menikmati hal sederhana. Makan jeruk saja membuat badanku terasa segar.

"Nak!"

Aku menoleh ke belakang.

"Bapak siapa?" tanyaku.

Aku melihat kakek-kakek memakai topi tersenyum lebar. "Mau ke mana?"

"Mau ketemu Ibu!" tegasku.

"Mau Bapak antar?" tanyanya.

Aku buru-buru berdiri. Bapak selalu bilang jika orang jahat biasanya selalu menampakkan kebaikkanya di awal. Aku rasa, dia bukan orang baik-baik. Orang baik tidak mengajak ngobrol orang asing sepertiku. Apalagi sampai lancang mengajakku.

Langkahku cepat sekarang. Aku tidak menghiraukan lagi teriakkan kakek itu yang terus menggema. Aku memilih meninggalkannya.

Huh! Capek juga lari-lari begitu ....

Saat sedang bertolak pinggang sambil mengatur napas, aku melotot. Ada ular yang menghadang di tengah jalan setapak. Ah, ular! Aku selalu tahu cara menangani ular supaya tidak mengejar. Menurut buku yang kubaca, ular itu tidak suka dengan bubuk cabai. Beberapa hari lalu, aku menumbuk cabai dan memasukkannya ke botol. 

Aku melempari ular itu dengan cabai kering itu. Sampai kemudian, ular itu berlalu dari hadapanku. Yeah, akhirnya berhasil. Kukira, ular itu akan menghadangku. Ternyata segitu doang kemampuannya.

Ngomong-ngomong soal ular, panjangnya mungkin satu meter. Kemudian besarnya seukuran telunjuk. Bagi anak kecil sepertiku, ular itu besar. Tapi menurut orang-orang besar, mungkin itu tidak ada apa-apanya.

Berpuluh-puluh kali aku duduk. Berpuluh-puluh kali juga aku bertemu dengan para petani yang membuka lahan perkebunan di sekitaran sini. Tentu saja, ada banyak yang mengajakku pulang. Tapi aku tidak mau. Aku selalu berlari karena yakin akan bertemu Ibu. Bukankah menurut buku dongeng yang kubaca, seseorang bisa bertemu dengan orang yang sudah meninggal jika datang ke air terjun itu? Untung saja aku dapat buku itu dari Bapak. Kalau tidak, mungkin aku tidak sampai sini.

Dan, aku mulai mendengar suara gemericik air setelah hari mulai gelap. Kukira, aku akan sampai di air terjun itu tengah hari, tetapi melebihi targetku. Ya, namanya anak kecil, perkiraanku meleset. Mungkin karena terlalu banyak berhenti.

Dari jalan setapak yang kutelusuri, memang ada semak-semak. Nah, aku masuk ke semak-semak itu, mengikuti sumber suara. Dan semakin jauh aku berjalan, aku menemukan sumber air itu, termasuk air terjun yang tidak terlalu tinggi. Ya ampun, indah sekali .....

Aku melihat air jernih yang menggelosor dari atas. Ada pelangi-penagi kecil yang tertangkap mata karena pembiasan cahaya.

Aku meloncat dari batu satu ke batu lain. Tempat ini benar-benar indah. Aku merasa begitu beruntung bisa ada di sini. Sampai kemudian, aku duduk di tengah-tengah batu. Aku menunggu hadirnya Ibu sambil berdoa.

"Ibu, aku tahu Ibu sayang sama Gunadi. Gunadi harap, Ibu bisa menemui Gunadi di sini."

Aku terus berharap dengan mata terpejam. Mungkin ratusan kali aku mengucapkan harapan itu. Karena terlalu fokus, aku sampai tidak sadar, ternyata hari sudah gelap. 

Apa Ibu tidak akan datang? Apa informasi mengenai air terjun ini benar-benar mitos? 

Tidak. Mitos itu biasanya perpanjangan dari fakta. Hanya saja orang-orang sekarang tidak banyak percaya. Kalau aku mempercayainya, bisa jadi semuanya akan terjadi.

Karena air makin deras, aku memilih ke pinggiran sungai. Aku membuka kain sarung yang kubawa dari rumah, lantas kukaitkan di dahan semak-semak yang cukup tinggi. Sementara untuk alas duduk, aku membawa koran bekas. 

Aku duduk di atas koran, lantas kembali memejamkan mata dan berharap agar Ibu ada. Namun saat doa itu terpanjat, aku malah mendengar auman yang cukup keras. Auman yang membuat bulu kuduk berdiri.

Aku harus berbuat sesuatu!

Menurut informasi yang kubaca di dongeng si harimau, hewan buas itu paling tidak suka dengan hal-hal terang, maka aku harus membuat penerangan dari api. 

Tentu saja aku sudah membawa korek. Aku juga memasukkan minyak tanah milik nenek ke dalam plastik kecil. Di kampungku, minyak tanah memang masih diperjualbelikan. 

Aku mengambil beberapa dahan kering dari pinggir-pinggir saung yang kubuat. Aku berusaha mengusir rasa takut. Aku yakin, keberadaan api akan membuat suara-suara hewan buas menghilang. 

Dan untuk pertama kalinya selama hidup, aku bisa membuat api yang cukup besar. Bersama suara air terjun, hewan malam, juga auman yang semakin sini semakin banyak, api itu terus melahap potongan-potongan kayu. Sementara, bersama dengan waktu yang terus berjalan, Ibu tak kunjung datang.

***

Aku terus melajukan motor dengan kencang. Aku tidak mau anakku kenapa-napa. Aku yakin, dia pasti kelaparan. Gunadi, bertahanlah. Bapak akan segera datang. 

Dalam waktu tak lebih dari setengah jam, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Aku buru-buru menggulingkan motor di pinggir jalan, lantas memasuki semak-semak yang ada. 

"Gunadi!" teriakku.

Tidak ada jawaban.

Aku terus menerobos semak-semak itu hingga menemukan sungai. Air terjun itu masih jauh posisinya dariku. Mungkin sekitar seratus meter. Maka, aku memilih menyusuri sungai sambil berteriak.

"Gunadi!" teriakku.

Masih tidak ada suara. Hanya saja, aku mendapati sesuatu. Aku melihat kain sarung yang disimpan di atas semak-semak tinggi. Apa mungkin Gunadi di sana? 

Aku buru-buru berlari. Tidak sabar untuk menemukan Gunadi. Dan saat sudah sampai, aku mendadak beku. Gunadi ada di sana dengan badan menelungkup. Kedua tangannya memeluk kaki. 

"Nak!" Aku buru-buru menarik tangannya dan memeluk anak itu. "Ini Bapak. Kamu tidak apa-apa?"

"Dingin ....." itu ucapan yang dia lontarkan dengan mata masih terpejam. Tangannya juga susah sekali untuk diluruskan. "Lapar ....."

Aku memeluknya sekali lagi, lantas memilih untuk mengeluarkan air hangat dan nasi dari dalam tas. Sudah pasti dia kelaparan.

Aku membiarkan kedua tangannya menggenggam botol minuman yang hangat, hingga perlahan-lahan, matanya terbuka, dia lantas tersenyum. "Bapak!"

Aku memeluknya untuk kesekian kali. Saat ini bahkan dibarengi tangisan. "Kenapa Gunadi nekat? Kenapa nggak nunggu Bapak? Kalau mau ke sini, Bapak bisa antar!"

"Gunadi tidak mau menunda-nunda waktu. Gunadi ingin bertemu Ibu. Tapi ....."

"Ibu tidak ada?" Aku memastikan.

Dia mengangguk. Sekarang, aku mendapati air matanya mengalir.

"Sayang, kita nggak akan pernah bisa bertemu dengan orang yang sudah meninggal. Jika Tuhan mengizinkan, Ibu akan bertemu kita seuatu hari nanti, saat kita sudah ada di alam yang sama dengannya."

Gunadi tidak berkata apa-apa, dia memilih memelukku erat.

Setelah beberapa saat, aku memilih menyuapinya makan. Sebelum pulang, aku harus benar-benar membuatnya kenyang. Aku tahu jika dia tidak punya persediaan makanan. Melihat dia masih bertahan saja sudah membuatku bahagia.

"Ayo makan!"

Gunadi melepaskan pelukan. Kini, kami sama-sama duduk menghadap air terjun. 

"Ibu nggak perlu dicari Gunadi. Ibu ada di sini." Aku menunjuk dadanya dengan sendok. "Kamu harus percaya itu."

"Semua dongeng yang kubaca ternyata bohong. Hanya satu yang benar ...."

"Apa yang benar?"

"Makhluk buas bisa pergi karena cahaya,” ungkapnya. “Semalam, aku sempat mendengar auman. Dan karena aku menyalakan api, tidak ada yang berani mendekat."

Mendengar ucapan itu, aku malah beku. Andai saja Tuhan berkehendak lain, mungkin aku tidak akan menemukan Gunadi. Mungkin dia sudah diterkam makhluk buas di malam hari.

Akhirnya, kami sama-sama makan sambil memandangi air terjun sore ini. Aku tahu, di dalam hati, Gunadi masih berharap bisa bertemu Ibunya. Tapi itu hanya harapan. Kenyatannya, orang yang sudah meninggal tidak akan pernah bisa kembali.

You may like these posts:

No comments:

Post a Comment