“Hei sini .....”
Gadis itu melambaikan tangan dari kaca jendela. Aku yang awalnya hanya melewati rumah kosong tersebut, akhirnya berhenti di pinggir jalan. Aku menatap sekali lagi ke arah jendela tadi. Berusaha meyakinkan diri kalau sebenarnya, aku sedang berhalusinasi. Namun saat semakin lama aku mengamati, gadis itu semakin jelas di mataku.
Aku melihat sesosok anak kecil masih melambai-lambaikan tangan. Sekarang, dia tersenyum lebar. Layaknya teman akrab, dia seperti mengajakku bermain. Tapi tentu saja aku bingung. Mama selalu bilang jika rumah ini sudah kosong dari 10 tahun lalu. Ya, Mama sendiri tahu fakta itu dari tetangga. Kami kan baru pindah setahun lalu. Kami tidak tahu sepenuhnya soal rumah ini.
Tadinya, aku ingin pergi saja. Mama selalu bilang jika aku tidak boleh mendekat ke orang asing. Tapi setelah dipikir-pikir, orang asing yang ada di depan jendela itu anak kecil. Aku yang saat ini sudah menginjak kelas 3 SMP merasa sama sekali tidak takut.
Bukankah menarik jika aku masuk ke dalam rumah ini? Selama sekolah di sini, aku hanya melewati rumah ini setiap pagi dan sore. Setelahnya, otakku dipenuhi dengan rasa-rasa penasaran. Nah, saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuatku tahu isi dari rumah itu.
Aku yang sedang menenteng makanan ringan yang dibeli dari warung, akhirnya berbelok ke rumah yang kurasa akan sangat mewah jika diurus. Rumah itu terdiri dari dua tingkat dengan nuansa zaman dulu. Aku tidak tahu model rumahnya seperti apa, yang jelas modelnya memang jadul. Berbeda dengan rumah lain yang warnanya lebih cerah dan kekinian.
Di depan rumah itu ada halaman yang luas. Di depan rumahku yang sekarang, halamannya sempit sekali. Aku merasa bahagia bisa melihat halaman seluas ini. Andai rumahku yang ini, mungkin aku bisa leluasa mengurus bunga-bunga. Tentu saja, halaman rumah kosong ini malah ditumbuhi rumput panjang.
Saat ini, aku sudah ada di depan pintu tua berwarna cokelat.
“Selamat sore!” teriakku.
Tidak ada jawaban, tetapi pintu terbuka begitu saja. Anak tadi yang ada di depan kaca sudah tidak ada saat kulirik, tandanya, dia yang membukakan pintu.
Saat aku masuk, aku melihat sosok itu dengan senyum yang masih lebar. Hanya saja, wajahnya pucat. Sepertinya, dia sedang sakit.
Ketimbang memperhatikan wajah anak itu, akhirnya aku memilih fokus terhadap isi rumah. Rumahnya bersih. Sama seperti rumahku yang kinclong. Ada berbagai lemari yang diisi oleh barang-barang antik. Gelas, piring, guci, dan berbagai benda yang berkilauan.
“Aku tidak menyangka kalau rumahnya seindah ini,” ucapku. “Pasti orangtuamu rajin sekali membersihkan rumah.”
Anak itu tidak menanggapi ucapanku, dia malah terus melangkah ke depan. Sementara, aku buru-buru mengikutinya. Rasanya, dia ingin menunjukkan sesuatu.
“Wiiih ....” Aku terpukau.
Ternyata, aku dibawa ke dapur. Tentu saja, di dapur itu ada meja makan yang sudah diisi dengan beberapa piring makanan. Ada ayam goreng, ikan goreng, tahu balado, dan sayur tempe yang dicampur dengan cabai besar. Oh, ada udang juga yang aromanya terasa begitu nikmat.
Gadis itu menarik kursi. Dia mempersilahkanku duduk. Lantas, dia juga menarik kursi di depanku, dan ikut duduk.
“Kamu sudah lama tinggal di sini?”
Anak itu menggeleng.
“Kapan pindah? Aku setiap sekolah lewat sini lho. Tapi aku nggak pernah lihat kamu. Kukira rumah ini kosong.”
“Aku terpaksa pindah ....”
Akhirnya suara yang kutunggu-tunggu itu terdengar di telingaku, meskipun agak pelan dengan nada rendahnya. Biasanya anak seusianya itu bersuara keras dan cerewet, tetapi dia justru bersuara begitu pelan.
“Orangtuamu ke mana?” tanyaku lagi. “Memangnya, aku boleh makan ini semua? Aku takut orangtuamu marah. Apalagi belum ada izin dari mereka.”
“Justru orangtuaku akan senang ada yang menemuiku sekarang.”
Aku menelan ludah. Nada bicaranya terdengar aneh. Tapi tidak masalah! Karena aku lapar, sepertinya memakan hidangan ini tidak ada salahnya.
“Kamu mau?” Sebelum membuka piring yang tertelungkup, aku menyodorkan makanan yang tadi kubeli. “Aku makan makananmu, kamu makan snack dari aku. Biar imbang. Gimana?”
Dia mengangguk, lantas mengambil beberapa snack jagung yang kusodorkan.
Aku membalikkan piring berwarna putih yang begitu bersih. Jujur, aku seperti makan di hotel-hotel. Mmm, aku belum pernah ke hotel, hanya saja pernah melihat hidangan dengan peralatan makan yang bersih dan serba putih.
Aku menyendok nasi. Ah, nasinya terlihat pulen. Sepertinya ini nasi terbaik yang akan kumakan. Kamu tahu kan, kalau orangtuaku hidup sederhana? Orangtuaku yang hanya pekerja serabutan memilih pindah ke salah satu rumah di kompleks ini karena masalah ekonomi. Nah, ini kesempatan besar untukku supaya bisa makan makanan yang enak.
Nasi itu sudah ada di atas piring. Stt, aku menyentongnya dua kali. Rasa-rasanya, aku memang akan makan dengan lahap.
“Aku makan ya,” ucapku.
Dia mengangguk.
“Eh, maaf, namamu siapa? Aku nggak akan tenang kalau belum tahu namamu.” Aku menatapnya dalam. “Aku Vira.”
“Najla .....”
“Oh, Najla.” Aku tersenyum. “Kalau begitu, aku makan ya?”
Dia mengangguk sambil memakan snack yang aku berikan.
Aku melahap makanan itu. Ayam gorengnya enak sekali. Aku mengambil paha ayam yang bagian luarnya digoreng renyah. Aku memang suka sekali kulit ayam goreng, rasanya nikmat. Apalagi dipadu dengan nasi hangat.
Beberapa kali menyomot makanan, aku merasa beruntung bisa makan di sini. Namun setelah hampir setengahnya makan, aku mulai merasakan hal aneh. Aku mencium bau amis dari nasi yang mengepul-ngepul. Kamu tahu? Tanganku merah. Aku yang awalnya merasa nikmat bisa makan di sini, sekarang malah berubah mual.
Saat kuamati makanan yang ada, semuanya berubah. Ada darah di makanan-makanan itu. Aku juga melihat ulat di atas piring. Hei, bagaimana mungkin semua makanan itu bisa berubah? Kenapa jadi ada ulat begini?
Spontan, aku mundur dari meja makan dan berdiri.
“Najla, ini ken ......”
Aku beku. Aku tidak sadar kalau gadis itu juga berubah.
Seorang gadis berambut acak-acakkan dengan wajah memar dan penuh darah, kini berada di hadapanku. Dia masih duduk, hanya saja matanya terlihat tajam menatap.
“Hihihihi ....”
Suara itu memekakan telinga. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan perubahannya.
Aku berusaha mengayunkan kaki dengan maksud untuk segera pergi. Namun tiba-tiba saja semuanya susah dilakukan. Mau bergerak juga sulit luar biasa. Sementara, Najla berdiri dari tempat duduknya, dia melangkah ke arahku secara perlahan-lahan.
“Kamu siapa?” tanyaku hampir tak terdengar.
Dia tidak menjawab. Aku hanya melihat seringai yang membuat bulu kudukku berdiri.
“Kamu mau apa?” tanyaku lagi.
Najla semakin dekat melangkah ke arahku, tetapi kakiku tak kunjung bisa bergerak. Aku malah semakin tegang. Hingga kemudian, dia mengacungkan kedua tangan, seolah akan mencekikku. Oh, Nak, kamu tidak tahu kalau aku lebih tinggi darimu. Tapi meski begitu, aku tetap takut! Bayangkan saja, dia mengacungkan kedua tangan dengan mata melotot, diselingi tawa menyeramkan.
Tuhan, kenapa aku bisa masuk ke rumah seperti ini? Kenapa pula aku bisa bertemu dengan manusia seperti ini? Oh, sepertinya ini bukan manusia!
Najla ada di hadapanku saat ini. Hingga lenganku dipegang oleh tangannya yang berwarna pucat! Ini bukan hanya pucat, tapi putih. Lebih mirip seperti tangan yang ditaburi bedak bayi. Tangan itu begitu dingin, hingga menyalurkan energi buruk.
Terakhir, aku mendengar jika dia berkata ..... TOLONG!
Setelahnya, aku merasa tubuhku jatuh dan tak ingat apa-apa.
***
“Sayang bangun!”
Samar-samar, aku mendengar suara itu. Sepertinya itu suara Ibu. Apa benar? Ah, kepalaku berat, aku agak susah membuka mati.
“Sayang, kamu sudah sadar?” tanya Ibu lagi.
Sekarang, mata itu perlahan-lahan bisa dibuka. Dan aku mendapati Ibu dan Bapak sedang ada di depanku.
Huh, aku mengembuskan napas. Syukurlah, aku sudah ada di rumah. Dan ini adalah kamarku sendiri.
“Kenapa aku bisa ada di sini, Bu?” tanyaku pelan.
“Justru Ibu yang harusnya nanya ke kamu!” tegas Ibu. “Ini, minum dulu ....”
Sebelum ibu berbicara lebih lanjut, aku memilih bangun. Lantas, aku meneguk air minum yang disodorkan Ibu.
“Tadi Bapak nemuin Vira di halaman rumah dalam keadaan pingsan.” Bapak yang sekarang angkat suara. “Kamu sakit? Nggak biasanya pingsan.”
Aku terdiam sejenak. Tadi, aku masih ingat jika aku masuk ke dalam rumah kosong itu. Aku bertemu dengan seorang gadis yang awalnya baik, tapi berubah menyeramkan. Hingga aku pingsan di sana. Tapi aku tidak tahu, kenapa aku bisa ada di halaman rumah? Seharusnya jika pingsan di rumah itu, ya aku saat ini pasti sedang berada di sana.
“Aku pusing, Pak, Bu ....” Aku mengembuskan napas berat. “Aku nggak tahu.”
“Jajanan kamu juga nggak ada.” Ibu menyambung. “Terakhir kali saat kamu pergi, kamu mau ke warung kan? Kamu katanya mau beli camilan. Tapi kok camilannya nggak ada?”
Ini pertanyaan memusingkan untuk kesekian kalinya. Tentu saja aku tidak bisa menjelaskan lagi. Camilan itu aku berikan kepada Najla. Mungkin saat ini, camilan itu berserakan di lantai rumah kosong itu.
“Bu, Pak, Vira mau tidur,” ucapku. “Entah kenapa, Vira lemas sekali. Sepertinya Vira butuh istirahat.”
Ibu mengangguk. “Ya udah, istirahat ya.”
Ibu dan Bapak keluar dari kamar. Sementara, aku termenung.
Aku melirik jam di dinding. Jam tiga sore. Aku masih ingat jika aku ke warung sekitar jam dua sore. Berarti, baru sebentar aku pingsan. Ya ampun, aku masih heran, kenapa pula aku bisa ada di depan rumah? Padahal aku yakin jika seharusnya aku ada di rumah kosong itu.
Aku mengingat kejadian makan di rumah kosong. Tiba-tiba, perutku bergolak dan mual karena mengingat darah dan ulat yang bergerak-gerak di atas piring. Aku loncat dari tempat tidur, lantas berlari ke luar kamar untuk menuju toilet. Jelas saja, Mama dan Bapak yang ada di ruang keluarga juga terkejut karena aku keluar secara tiba-tiba.
Di toilet, aku mengguyur wajah. Sepertinya aku butuh kesejukkan.
Saat keluar dari toilet, aku berjalan dengan langkah gontai.
“Vir, kayaknya Ibu perlu bawa kamu ke dokter. Siap-siap gih, mending kita ke dokter dari pada semuanya makin parah.” Mama terlihat khawatir.
“Iya, Bapak nyiapin dulu motor ya, biar bisa Bawa Vira ke dokter.”
Buru-buru aku menggeleng, “Pak, Bu, Vira baik-baik saja kok. Setelah mual barusan, badan Vira terasa lebih enakkan dan juga terasa ringan.”
“Yakin?” Ibu memastikan.
“Yakin .....”
Untuk membuktikan jika aku baik-baik saja, aku memilih menghampiri Ibu dan Bapak yang sedang menonton TV. Aku duduk di sisi Ibu dan menyenderkan kepala di punggung kursi.
Saat sedang duduk santai, entah kenapa aku ingin sekali melihat koran yang ada di atas meja. Meski koran sudah agak jarang beredar, Bapak kadang-kadang masih berlangganan koran yang diantar ke setiap kompleks. Rasa-rasanya, aku jadi ingin membaca informasi di koran-koran itu. Padahal sejak tapi pagi, koran itu ada di atas meja.
Aku mengambil koran edisi harian itu. Seperti biasa, di halaman depan terdapat informasi mengenai politik yang sedang naik-naiknya. Beberapa melaju ke masalah bencana, hingga masalah artis papan atas yang tidak ada hentinya.
“Kenapa masih berlangganan koran sih, Pak?” Aku angkat suara. “Berita itu nggak pernah berhenti. Kalau terus-terusan baca berita, kita malah jadi pusing.”
“Siapa bilang pusing?” Bapak tersenyum. “Justru kita makin tahu info-info terkini biar nggak kemakan hoaks. Lagian, ada kolom karya sastra juga lho. Ada puisi, cerpen, atau esai. Seru juga bacanya.”
Aku mengangguk-angguk sambil membuka beberapa halaman terakhir dari koran. Mencoba membaca karya sastra yang dimaksud. Ya ampun, ternyata memang ada cerita pendek yang sepertinya seru untuk dibaca.
Aku terus membuka beberapa halaman koran hingga ada di halaman terakhir. Di sanalah mataku tertuju ke wajah seorang gadis kecil yang fotonya terpampang nyata. Aku sedikit melotot. Sebab, gadis itu mengingatkanku kembali dengan rumah kosong itu.
Najla! Apa benar itu Najla?
“Informasi orang hilang!”
Itu adalah judul dari tulisan di atas foto Najla. Di Bawah fotonya ada data-data diri.
Nama : Najla Anggia
Umur : 9 tahun
Tinggi badan : 122 sentimeter
Ciri fisik : Berambut panjang melebihi bahu. Pakaian terakhir berwarna putih dengan rok selutut.
Bla bla bla .....
Aku terenyak saat membaca informasi itu. Najla itu ternyata anak yang sedang dicari?
“Bu ....” Aku berkata dengan nada begitu pelan karena masih syok. “Aku pernah lihat orang ini.”
Ibu melihat ke arah koran yang fotonya aku tunjuk.
“Orang hilang?” Bapak memastikan.
“Sebelum pingsan tadi, aku mengobrol sama dia, Bu. Bahkan kami makan bareng.”
Ucapan itu disambut pelototan kedua orangtuaku. Mereka mungkin merasa aneh dengan ucapanku.
“Aku nggak ngada-ngada. Aku bertemu anak itu di rumah tua! Itu pula yang menyebabkanku pingsan, Bu. Saat bertemu dengannya, ada banyak hal aneh yang membuatku takut!”
“Jadi kamu masuk ke rumah tua itu?” Bapak terlihat cemas.
“Aku penasaran sama rumah itu, Pak. Lagi pula saat aku jalan melewati rumah itu, Najla melambaikan tangan dari jendela rumah. Dari sana aku berkenalan dengannya. Bahkan aku juga memberikan snack yang kubeli di warung.
Bapa mengambil HP di atas meja. “Bapak harus hubungi Pak RT. Kita cek sekarang juga rumah itu. Info kehilangan ini cukup menghebohkan dari kemarin. Menurut informasi, Najla adalah anak kompleks sebelah yang hilang setelah pulang les.”
Aku mengangguk setuju.
Sekitar lima belas menit kemudian, Pak RT datang ke rumah. Dia meminta penjelasanku. Aku menjelaskan semuanya dengan gamblang dan sejujur-jujurnya. Hingga kemudian, Pak RT berinisiatif untuk mengecek rumah kosong itu.
“Saya ikut ya, Pak RT.” Aku memohon. “Saya yang tahu gambaran tentang isi rumah itu.”
“Kamu di rumah saja, Nak. Ibu takut ada sesuatu.” Ibu langsung melarang.
“Enggak, Bu. Vira harus cek sendiri. Vira yang tahu Najla ada di mana!”
“Kalau begitu, kamu boleh ikut.” Pak RT yang sedang kebingungan akhirnya berucap seperti itu.
Aku, Pak RT, dan Bapak berangkat menuju rumah kosong. Rumah yang sudah tahunan tidak diisi.
Saat akan masuk ke dalam rumah, pintu depan dikunci dari dalam. Jelas aku syok, sebab saat tadi masuk ke rumah itu, pintu tersebut bisa dibuka dengan gampang.
“Najla!” teriakku.
Aku masih berusaha berpikir logis jika Najla memang ada di dalam. Bukankah dia pula yang tadi membukakan pintu?
Pak RT menggerak-gerakkan knop pintu dengan kencang. Tetap tidak bisa.
“Rumah ini sudah tidak bisa dibuka. Pemiliknya saja sudah meninggal sejak tahunan lalu.” Pak RT bercerita. “Tidak mungkin ada orang di sini.”
“Tapi saya yakin, Pak. Sekitar sejam lalu, saya ada di sini. Saya bahkan masuk ke dalam dan sempat disambut oleh Najla.”
Pak RT terlihat bingung.
“Gimana kalau kita dobrak saja, Pak?” tanya Bapak. “Ini bukan masalah sepele. Ini berhubungan dengan orang hilang. Siapa tahu anak itu memang ada di dalam.”
Pak RT yang sedang berpikir panjang akhirnya mengangguk.
Bapak dan Pak RT bersiap-siap untuk mendobrak pintu. Mereka berdua berancang-ancang dengan gerakkan begitu cepat dan tenaga besar. Mereka mendorong pintu itu dengan kekuatan badan sehingga setelah beberapa kali, akhirnya pintu itu terbuka .....
Saat pintu itu terbuka, aku mencium bau bangkai. Ya ampun, aku kembali mual! Tapi aku tidak boleh lemah. Aku harus menahan itu semua supaya semuanya segera terungkap.
Saat masuk ke dalam rumah, aku mematung. Rumah itu acak-acakkan sekali. Debu di mana-mana. Ada beberapa barang rumah yang berserakan. Pokoknya jauh dari kesan megah dan mewah yang kulihat sekitar jam dua.
Apa tadi aku halusinasi? Jelas-jelas rumah ini begitu bersih dan megah saat aku masuk. Di mana lemari berisi barang-barang hias? Kenapa tidak ada?
“Kamu yakin Najla ada di sini? Rumah ini seperti sudah lama nggak ditinggali!” Bapak terlihat ragu.
“Terakhir kami berbincang itu di dapur!”
Kami melangkah lagi menuju dapur. Saat sampai di dapur, aku menutup mulut. Aku melihat meja makan itu. Di atasnya terdapat makanan berserakan. Makanan itu hampir busuk karena aku mencium bau tidak sedap. Yang semakin membuatku yakin, snack yang aku beli ada di sana. Berserakan. Ada beberapa makanan yang juga belum dibuka.
“Itu snack milikku!” Aku mengambilnya. “Sekarang Pak RT dan Bapak percaya kan, kalau sekitar jam dua saya di sini?”
“Tapi ....” Pak RT mengerutkan kening. “Bagaimana caranya kamu masuk?”
“Najla yang membukakan pintu!” tegasku.
Obrolan kami terhenti lagi. Ya, kali ini terhenti karena aku mencium bau .... bangkai. Saat melirik ke bawah meja makan, aku melihat tangan menyembul. Saat itulah aku menjerit! Bapak sigap memelukku. Sementara Pak RT berjongkok dan .....
“Astagfirullah!” Pak RT meloncat menjauh dari meja makan.
“Ada apa?” tanya Bapak.
“Anak itu memang ada!”
Kami semua membeku sejenak. Setelah agak tenang, kami sama-sama berjongkok dan melihat dengan lebih tenang. Seorang anak terkulai kaku dengan badan meringkuk. Pakaian yang dia kenakan sama persis seperti yang kulihat. Kuamati mata mungil itu, terpejam. Dan yang paling menyesakkan, aku melihat titik-titik darah di rok sekitaran paha!
Kami tidak menyentuhnya! PAK RT memilih untuk menelepon polisi dan mengurus semuanya. Setelah polisi datang dan memeriksa, ternyata anak itu sudah meninggal.
Dua minggu setelah kejadian itu, muncul berita di televisi. Berita yang cukup menyesakkan.
“Telah tertangkap dua orang lelaki yang telah menculik dan menyekap anak kecil berinisial N. Menurut pengakuan tersangka, mereka memang sudah lama mengincar anak itu. Mereka yang diduga mengidap kelainan Pedofilia telah melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Mereka meninggalkan anak itu begitu saja setelah melakukan hal bejat tersebut.”
Mendengar berita itu, aku terenyak. Najla ....
Aku mengusap air mata di ujung mata. Malang sekali nasib Najla. Anak cantik yang lucu dan imut itu harus meregang nyawa karena perlakuan penjahat itu. Aku tidak habis pikir, bagaimana perasaan kedua orangtuanya saat mengetahui informasi ini?
Aku terdiam cukup lama di depan TV. Pikiranku melayang ke wajah Najla yang masih terekam jelas di otakku. Sekarang aku baru sadar. Rupanya waktu itu, dia memberikan petunjuk kepadaku. Dia ingin supaya semuanya terungkap.
***
No comments:
Post a Comment